Satgas Penanganan Covid-19 Jelaskan Sejumlah Mitos Terkait Vaksinasi yang Beredar di Masyarakat
PALANGKA RAYA – BIRO ADPIM. Tim Komunikasi Publik Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Kalimantan Tengah (Kalteng) kembali menyampaikan Press Release mengenai perkembangan penanganan pandemi Covid-19 sampai dengan hari Sabtu (19/06/2021) pukul 15.00 WIB.
Dalam keterangan rilisnya kali ini, Satgas Penanganan Covid-19, melansir laman covid19.go.id menyampaikan ulasan Webinar Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) dengan narasumber dokter spesialis anak, Windhi Kresnawati, beberapa waktu lalu terkait banyak beredar mitos seputar vaksin dan imunisasi di masyarakat, di antaranya:
1. Penyakit infeksi bisa dihindari dengan gaya hidup sehat saja. Terkait hal ini, dr. Windhi tidak menampik pola hidup sehat adalah kebiasaan baik. Namun, ia mengingatkan, cara ini belum cukup ampuh untuk mencegah infeksi penyakit tertentu.
Fakta soal anggapan ini bisa dilihat di Amerika Serikat. Saat ditemukan vaksin campak di AS pada 1963, penyakit ini berangsur-angsur hilang. Bahkan, pada 1974, pemerintah AS menyatakan bahwa mereka bebas campak. Yang perlu digarisbawahi, pola dan gaya hidup warga AS sejak tahun 1963 hingga 1974 tidak ada perubahan. Artinya, peran terbesar atas hilangnya campak di AS adalah imunisasi atau vaksinasi, bukan hanya gaya hidup yang sehat.
Kondisi ini mulai berubah saat di AS mulai muncul sekte atau kelompok masyarakat yang meragukan vaksin MMR (campak, beguk, rubella). Lalu, diikuti dengan semakin banyaknya orang yang ragu terhadap peran vaksin campak. “Akibatnya, tahun 2018 Amerika Serikat kembali mengalami wabah campak. Ini disebabkan banyak pendatang dari negara lain yang tidak vaksin dan refuse vaksinasi tinggi,” ujar dr. Windhi.
2. Mitos anak yang diimunisasi tetap saja sakit. Terkait hal ini, dr. Windhi menjelaskan bahwa meskipun mengalami sakit, tingkat keparahan yang dialami pasien imunisasi sangat ringan. Anak-anak yang diimunisasi, bila sakit, akan terhindar dari kecacatan dan kematian.
“Dan, jangan lupa, kalau Anda tidak diimunisasi dan Anda tidak sakit, berterima kasih lah kepada orang yang diimunisasi. Karena, itulah herd immunity. Ketika kita berada di tengah orang-orang yang sehat, kita tidak terjangkit penyakit,” ujar dr. Windhi.
3. Mitos vaksin ada kandungan zat berbahaya. Terkait hal ini, dr. Windhi menegaskan bahwa hal ini keliru. Vaksin yang sudah diproduksi massal harus memenuhi syarat utama: aman, efektif, stabil, dan efisien dari segi biaya. Artinya, prosesnya panjang.
“Setelah dinyatakan aman, dipakai oleh masyarakat luas di bawah monitoring. Kalau negara kita, di bawah BPOM. Karena, satu saja ada temuan efek samping yang tidak diinginkan, itu bisa ditarik dan biasanya itu ketahuan di fase awal,” kata dr. Windhi.
4. Mitos vaksin sebabkan autism. Terkait hal ini, dr. Windhi memastikan bahwa tidak ada kaitannya antara kandungan vaksin terhadap autisme pada anak. Hal ini sudah terbukti pada penelitian mendalam dan panjang, bahkan hingga lebih dari 10 tahun. Thimerosal merupakan salah satu kandungan vaksin yang sempat dituduh memicu autisme pada anak. Thimerosal ini berfungsi sebagai pengawet vaksin.
Amerika Serikat pernah menghapuskan kandungan thimerosal pada tahun 1999 karena takut bahwa kandungannya bisa memicu autisme. Tapi faktanya, setelah thimerosal dihapuskan, angka autisme di Amerika Serikat tidak turun. “Angka autis malah naik. Artinya, tidak ada hubungan antara autis dengan thimerosal,” jelas dr. Windhi.
Peneliti juga melihat kadar thimerosal pada tubuh anak autis dan anak non autis. Hasilnya, tidak ada perbedaan di antara keduanya. Hal ini semakin menguatkan bahwa thimerosal tidak menyebabkan autisme, melainkan genetika. “Jadi, jangan termakan hoaks dengan thimerosal penyebab autisme. Banyak sekali penelitiannya dan mudah sekali mencarinya di internet,” kata dr. Windhi.
5. Mitos penyakit yang sudah ada vaksinnya, tidak perlu vaksinasi lagi. Hal ini pun dinilai hoaks. Banyak riset menunjukkan bahwa penurunan angka vaksinasi memicu kenaikan penyakit spesifik yang dilawan vaksin tersebut. Hal ini sempat terjadi di Indonesia pada medio akhir 2017 lalu. Awalnya, wabah difteri terjadi di Jawa dan merambah ke Sumatera. Pemerintah pun memutuskan untuk melakukan imunisasi nasional dan menggratiskan imunisasi difteri hingga usia 19 tahun.
“Di AS juga terjadi, tahun 2018, angka imunisasi turun dan muncul lagi. Polio sempat muncul kembali di Papua, padahal kita pernah dapat bendera bebas polio dari WHO. Campak rubella masih mengancam karena banyak hoaks tadi. Jadi, hati-hati, kalau angka mulai turun dan kita hadapi wabah ini sangat menderita,” pungkas dr. Windhi.
Selanjutnya, disampaikan perkembangan data Covid-19 Kalteng pada hari ini, di mana terdapat penambahan Kasus Konfirmasi sebanyak 88 orang, yaitu di Palangka Raya 27 orang, Kotawaringin Timur 12 orang, Kotawaringin Barat 38 orang, Sukamara 1 orang, Seruyan 2 orang, Pulang Pisau 2 orang, Barito Timur 4 orang, dan Murung Raya 2 orang, sehingga dari semula sebanyak 24.140 orang menjadi 24.228 orang.
Pasien Sembuh ada penambahan sebanyak 58 orang, yaitu di Palangka Raya 17 orang, Kotawaringin Barat 12 orang, Sukamara 17 orang, Seruyan 3 orang, Pulang Pisau 2 orang, Barito Timur 2 orang, Barito Utara 2 orang, dan Murung Raya 3 orang, total menjadi 22.344 orang.
Kasus Suspek ada penurunan sebanyak 26 orang, sehingga dari semula 268 orang menjadi 242 orang. Kasus Probable ada penambahan sebanyak 1, menjadi 98 orang. Pasien Dalam Perawatan ada penambahan sebanyak 30 orang, sehingga dari semula 1.209 orang menjadi 1.239 orang. Kasus Meninggal tidak ada penambahan, tetap 645 orang dengan tingkat kematian (CFR) 2,7%. (win)