Digitalisasi dan Dilema Perundang-undangan
Sumber gambar : shutterstock (@ okezone.com, 2020)
Oleh : Rani Diah Anggraini, S.Sos., M.A.*
Media baru perlahan tapi pasti telah melahirkan perubahan pola konsumsi, terutama dalam kaitannya dengan akses berita dan informasi. Media digital berbasis internet tersebut menawarkan berbagai kemudahan dan ruang interaksi yang lebih luas dalam pola konsumsinya. Selain pola konsumsi baru, media baru perlahan tapi pasti juga telah menghadirkan cara-cara baru dalam mengakomodir kebutuhan penggunanya.
Perkembangan teknologi terkini memang sangat menjanjikan. Digitalisasi telah memberi kesempatan-kesempatan baru bagi kalangan media untuk berkontribusi dalam menyediakan beragam konten. Dalam hal ini, peran kalangan media terbagi menjadi dua, yakni sebagai penyedia konten dan penyedia jaringan (Nugroho et al, 2013). Pada perkembangannya, para penyedia konten dan jaringan bermodal besar atau Over The Top (OTT) telah menguasai sebagian besar pangsa pasar dunia termasuk Indonesia. Para OTT, seperti Netflix, Uber, Whatsapp, Facebook, Twitter, Google, Skype, Blackberry dari Research in Motion (RIM), dan sebagainya, tentu sudah tidak asing lagi di telinga kita.
Menilik cara kerja beberapa OTT yang ada, dapat kita lihat bahwa teknologi informasi dan komunikasi terus menawarkan model bisnis baru tanpa harus memiliki perizinan layaknya perusahaan konvensional. Misalnya di pasar bisnis data, dengan layanan komunikasi gratis dan pendapatan yang pada umumnya mengandalkan iklan, para OTT dapat menarik minat banyak pengguna. Akibatnya, para operator telekomunikasi harus “berbagi” keuntungan dari usage jaringan data dengan para pemain bisnis besar tersebut (hukumonline.com, 14 Maret 2012). Selain itu, perdagangan di internet memiliki kebebasan dan mata uang universal dengan kurs yang mudah dipantau. Pembayarannya pun semakin dipermudah dengan adanya kartu kredit dan jasa pembayaran seperti PayPal. Sehingga tidak mengherankan, jika tak sedikit masyarakat yang kini mulai menggunakan model transaksi baru ini.
Selanjutnya, seperti disebutkan di atas, televisi streaming Netflix telah hadir di Indonesia bersama para OTT lainnya. Kehadiran industri media baru ini ke Indonesia pada 7 Januari 2016 (Abraham, 2016) seakan menantang eksistensi banyak perusahaan televisi berbayar, seperti FOX, HBO, Thrill, dan sebagainya yang menawarkan tayangan televisi original setara film-film layar lebar. Berbeda dengan televisi-televisi berbayar tersebut, Netfix hadir melalui media internet (streaming) yang tentu saja dengan cepat dapat menyebar ke seluruh dunia (Learmonth, 2015). Kecepatan inilah yang menyebabkan Neflix mendapat respon signifikan para pecinta televisi, termasuk dari Indonesia. Terlebih lagi, jika televisi-televisi lokal di Indonesia tidak mampu menawarkan tontonan yang mendidik atau lebih berkualitas.
Kehadiran Netflix di Pasar Televisi Indonesia
Kehadiran Netflix ke Indonesia pada awal tahun 2016 lalu seakan menantang eksistensi banyak perusahaan televisi berbayar yang menawarkan tayangan televisi original setara film-film layar lebar. Namun, berbeda dengan televisi-televisi berbayar tersebut, Netfix hadir melalui media internet yang dengan cepat dapat menyebar ke seluruh dunia. Untuk jangkauan, Netflix yang saat ini paling tidak sudah tersedia di 190 negara, termasuk Indonesia, menargetkan untuk bisa merambah di 200 negara (redaksiindonesia.com, 7 Januari 2017).
Dari sisi konten, dibandingkan dengan industri sejenis, seperti Google Play Movies, iFlix, dan HOOQ, Netflix sebagai pelopor layanan sewa film online yang didirikan sejak 1997 mengakomodasi arsip film paling lengkap dengan wilayah pengoperasian terbanyak. Seiring tingginya penetrasi internet, layanan-layanan serupa bermunculan dengan beberapa modifikasi dan signifikansi pasar. Dengan koleksi lebih dari 65.000 judul film dan serial televisi, Netflix memang menawarkan lebih banyak film dibandingkan dengan layanan serupa. Secara keseluruhan, konten layanan Netflix terbagi menjadi dua kategori utama, yakni film dan serial televisi. Kedua kategori tersebut kemudian dibagi lagi berdasarkan genre, yakni action, comedies, horror, romance, dan sebagainya (Setyanti, 2016).
Serial televisi original yang dapat disaksikan di Netflix tidak dikemas secara gratis seperti pada YouTube Channel. Serial Netflix dikemas secara profesional layaknya serial televisi luar negeri lainnya. Salah satu serial televisi original Netflix adalah Orange is the new Black yang banyak mendapatkan nominasi tayangan “Televisi Terbaik” dari penghargaan bergengsi Golden Globe maupun BAFTA sejak tahun 2014. Penghargaan tersebut seakan menunjukkan bahwa Netflix tidak main-main memberikan layanan televisi internet (Abraham, 2016). Untuk menarik hati konsumen, Netflix juga menyediakan beberapa serial televisi original, seperti The Arrow dan Gotham. Ada pula program original, House of Cards dan Fargo (bbc.com, 20 Januari 2016). Tidak hanya itu, Netflix menayangkan beberapa serial populer, seperti Daredevil dan Jessica Jones dari Marvel, Narcos, serta Sense 8. Bahkan pada tahun 2016, Netflix meluncurkan 31 judul serial televisi, baik yang sama sekali baru maupun yang merupakan kelanjutan dari serial sebelumnya.
Untuk menikmati konten-konten Netflix, pelanggan dapat memilih paket Basic, Standard, atau Premium. Paket Standard memungkinkan user menonton film atau serial televisi dalam format HD, sedangkan paket Premium menawarkan format HD dan Ultra-HD. Tidak hanya bisa dinikmati kapan saja dan dimana saja dengan perangkat yang lebih banyak, layanan Netflix juga berbeda dengan layanan pay per view karena menerapkan tarif flat bulanan, bukan per konten, seperti Play Store Google atau Apple TV. Pelanggan Netflix hanya memerlukan koneksi yang cepat dan stabil untuk dapat menikmati layanan streaming media baru tersebut. Hal ini semakin dimudahkan karena sudah banyak operator seluler di Indonesia yang menawarkan layanan internet 4G. Beberapa penyedia layanan internet unlimited juga sudah ada di Indonesia, seperti Biznet, Firstmedia, dan MyRepublic yang menggunakan kabel optik, di samping beberapa provider seluler dengan layanan internet nirkabel yang tak kalah berlomba-lomba menawarkan paket unlimited.
Bagi industri layar lebar, seperti bioskop, kehadiran Netflix kemungkinan tidak terlalu berpengaruh karena pihak distributor film baik lokal maupun internasional seperti Hollywood menempatkan bioskop seperti jaringan Cinema21 dan Blitz Megaplex di posisi pertama. Sedangkan bagi televisi berbayar di Indonesia, kehadiran Netflix harus direspons secara serius. Sebab, harga berlangganan yang ditawarkan Netflix berada di bawah harga berlangganan televisi berbayar di Indonesia pada umumnya.
Sementara itu, meskipun tayangan tidak diberikan secara gratis pada bulan kedua berlangganan dan seterusnya, di mana Netflix menawarkan tiga paket layanan dengan kualitas yang berbeda, namun perhatian masyarakat dunia terlihat tetap tinggi terhadap situs yang didirikan pada 29 Agustus 1997 oleh Reed Hastings dan Marc Randolph di California, Amerika Serikat ini.
Apa yang telah dicapai Netflix tersebut tentunya sebanding dengan dana yang telah mereka keluarkan untuk memproduksi dan memperoleh konten dalam rangka menancapkan dominasi televisi streaming di pasar internasional. Bahkan, Netflix meningkatkan anggaran kontennya menjadi 7 miliar dolar AS hingga 8 miliar dolar AS pada tahun 2018 untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat dari layanan streaming, seperti Prime News Amazon.com dan perusahaan media tradisional. Apalagi, Walt Disney Co memutuskan untuk menarik kembali film pertamanya dari Netflix di Amerika Serikat mulai tahun 2019 dan meluncurkan penawaran online-nya sendiri. Selain Disney, Netflix saat ini mendistribusikan beberapa film Weinstein Company.
Netflix dan Tantangan Regulasi di Indonesia
Menilik keberadaan para OTT, seperti Netflix, Uber, Whatsapp, Facebook, Twitter, Google, Skype, Blackberry dari Research in Motion (RIM), dan sebagainya di Indonesia, sudah menjadi tugas pemerintah untuk menjaga stabilitas pasar. Namun, regulasi mengenai konten maupun aplikasi internet relatif lambat dibanding perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang terus menawarkan model bisnis baru tanpa harus memiliki perizinan layaknya perusahaan konvensional.
Secara umum, kemunculan para OTT tersebut sempat menimbulkan kekhawatiran para operator seluler. Di mana, dengan layanan komunikasi gratis dan pendapatan yang pada umumnya mengandalkan iklan, para OTT dapat menarik minat banyak pengguna. Hal ini, seperti diakui Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI), menyebabkan jasa telekomunikasi tradisonal, seperti voice dan SMS, mengalami penurunan. Bahkan, pasar sudah mengalami kejenuhan (saturated market), sehingga operator telekomunikasi mau tidak mau harus mencari peluang baru di pasar bisnis data yang tengah tumbuh signifikan. Pada akhirnya, para operator telekomunikasi pun harus “berbagi” keuntungan dengan para pemain bisnis besar tersebut (hukumonline.com, 14 Maret 2012). Interkoneksi antara operator telekomunikasi dan OTT semacam ini, sementara memang menjadi solusi yang yang paling memungkinkan, meski untuk penerapannya di Indonesia, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) tetap harus menunggu inisiasi yang dijalankan secara global.
Sementara itu, terkait dengan perdagangan di internet yang memiliki kebebasan dan mata uang universal, penggunaan jasa pembayaran seperti PayPal yang kini banyak diminati masyarakat, lagi-lagi tidak menguntungkan Indonesia, melainkan menguntungkan pihak asing dalam hal ini Amerika dan memperkuat dominasi ekonomi negara adikuasa tersebut.
Masalah badan usaha yang menaungi para OTT, termasuk Netflix, memang sempat menjadi perbincangan hangat di ranah hukum. Saat mulai masuk dan melebarkan bisnisnya sampai ke Indonesia, Netflix belum memiliki Badan Usaha Tetap (BUT) dan kantor serta tidak membayar pajak di Indonesia. Dengan tidak memiliki BUT di Indonesia, Netflix tidak dapat diatur dengan undang-undang yang ada di negara ini, apalagi regulasi mengenai konten maupun aplikasi internet masih dalam pembahasan hingga kini. Dengan ketiadaan badan usaha di Indonesia, Netflix tidak berada dalam lingkup Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Di mana, pada pasal 1 antara lain disebutkan bahwa televisi disiarkan ke penjuru tanah air melalui gelombang radio dengan frekuensi dan cakupan tertentu. Selain itu, disebutkan bahwa jasa penyiaran radio maupun televisi harus memiliki badan hukum yang mendapatkan izin penyelenggaraan dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Usaha penyiaran tersebut dapat berbentuk Lembaga Penyiaran Publik, Lembaga Penyiaran Swasta, atau Lembaga Penyiaran Komunitas.
Selanjutnya, televisi-televisi streaming yang menggunakan jaringan broadband yang menglobal, tidak berada dalam lingkup Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Di mana, pada pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik Iainnya.
Untuk membendung penguasaan pasar asing terutama Amerika di Indonesia, pemerintah sebagai pencetak regulasi sudah seharusnya peka dan bergerak cepat, antara lain dengan mempercepat proses penyusunan regulasi yang mengatur segala perkembangan terkini yang disebabkan oleh kehadiran media baru, meliputi konten media baru internet, digitalisasi, konvergensi telematika, perubahan mekanisme dan stabilisasi pasar, serta pengembangan usaha para pemain lokal dan perlindungan dari dominasi para OTT.
Sementara itu, bagi para pemain lokal, tidak harus selalu melihat dominasi para OTT sebagai sebuah ancaman, melainkan akan lebih baik jika menyikapinya sebagai peluang untuk menciptakan inovasi baru yang tak kalah menawarkan kemudahan dan keunggulan-keunggulan lainnya guna menarik perhatian pasar, maraih keuntungan, atau sekadar bertahan hidup. Selanjutnya, khusus bagi industri pertelevisian tanah air, sangat penting untuk memikirkan bagaimana menawarkan tayangan-tayangan yang lebih berkualitas, mengajarkan banyak kebaikan, dan tidak hanya mengejar rating. (*Penulis adalah Pranata Humas Ahli Muda di Biro Administrasi Pimpinan Sekretariat Daerah Provinsi Kalimantan Tengah)