Sekda Nuryakin Buka Sosialisasi Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan
Sekda Provinsi Kalteng Nuryakin membuka Sosialisasi Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan di M Bahalap Hotel Palangka Raya, Kamis (20/7/2023).
PALANGKA RAYA – BIRO ADPIM. Saat ini, dunia sedang dihadapkan dengan berbagai permasalahan iklim yang dapat mengancam sendi kehidupan. Untuk menghadapinya, diperlukan fondasi yang kuat terkait perlindungan lingkungan dan iklim dari semua pihak, baik lintas generasi, lintas disiplin, maupun lintas sektor.
“Secara kolektif berinovasi guna mendapatkan solusi untuk mengatasi perubahan iklim yang melanda,” kata Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) H. Nuryakin saat membuka Sosialisasi Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan di M Bahalap Hotel Palangka Raya pada Kamis (20/7/2023).
Sekda yang membacakan sambutan Gubernur mengungkapkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalteng sebagai provinsi dengan luas kawasan hutan sebesar 15,3 juta hektare (Ha) telah berkomitmen menjadikan Rencana Kerja FOLU Provinsi Kalteng sebagai katalisator yang diharapkan mampu mengakselerasi implementasi kebijakan dan program-program terkait perubahan iklim termasuk sosialisasi perdagangan karbon sektor kehutanan.
Ditetapkannya Peraturan Menteri LHK Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan, menurutnya, bertujuan untuk mengatur perdagangan karbon sektor kehutanan secara rinci, baik aspek lokasi, mekanisme, maupun pelaku usaha perdagangan karbon sektor kehutanan.
“Penerimaan Negara Bukan Pajak atas perdagangan karbon hingga laporan, evaluasi, dan pembinaan dalam rangka pencapaian target Nationally Determined Contribution (NDC) melalui aksi mitigasi perubahan iklim, meliputi kegiatan pengurangan emisi GRK dan penyimpanan dan penyerapan karbon hutan,” jelasnya.
Mendukung pencapaian target kontribusi yang ditetapkan secara nasional, sektor kehutanan perlu melakukan penyelenggaraan nilai ekonomi karbon berupa perdagangan karbon sektor kehutanan. Perdagangan karbon sektor kehutanan dilakukan melalui mekanisme perdagangan emisi dan offset emisi Gas Rumah Kaca (GRK).
“Langkah optimalisasi perdagangan karbon membutuhkan usaha serta kerja keras dari segenap Kementerian dan Lembaga dalam menjaga pendapatan negara melalui perdagangan karbon,” tuturnya.
Menurutnya, dalam proses tersebut akan ada kendala, seperti “bocornya” potensi perdagangan karbon Indonesia, sehingga dengan mudah dikapitalisasi luar negeri.
Hal ini terjadi karena permasalahan di sektor hilir yang bermuara pada lemahnya pengawasan dan mekanisme dalam melihat fenomena perdagangan karbon di Indonesia serta kurang disadarinya efek perubahan iklim global oleh mayoritas masyarakat Indonesia.
“Karena itu, besar harapan agar Indonesia mampu meningkatkan pendapatan negara dalam sektor perdagangan karbon dengan mekanisme dan optimalisasi yang kuat dari segenap sektor pendukung,” harapnya. (ira/bow)